Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ekonom: IHT Strategis Bagi Pembangunan Daerah, Tapi Sepi Perhatian Pemerintah

Industri hasil tembakau (IHT) perannya strategis dalam pembangunan daera namun sepi perhatian pemerintah.
Kegiatan memelinting rokok di salah satu PR di Kab. Malang. Bisnis/Choirul Anam
Kegiatan memelinting rokok di salah satu PR di Kab. Malang. Bisnis/Choirul Anam

Bisnis.com, MALANG — Industri hasil tembakau (IHT) perannya strategis dalam pembangunan daerah, bahkan nasional, melalui pajak, cukai, pajak daerah, Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT), dan penyerapan tenaga kerja.

Akan tetapi, sektor ini sepi dari perhatian pemerintah berupa kebijakan yang afirmatif, bahkan cenderung restriktif.

Ekonom Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya, Joko Budi Santoso, menegaskan IHT memegang perananan strategis dalam perekonomian nasional, termasuk daerah.

“Cukai menjadi salah satu sumber penerimaaan negara, penerimaan cukai menyumbang rata-rata sekitar 1% dari total PDB, dan rata-rata sekitar 11% dari total penerimaan perpajakan,” ujarnya, Minggu (1/6/2025).

Menurutnya, penerimaan cukai rata-rata menyumbang 74% dari total penerimaan bea cukai, dimana 96% penerimaan cukai disumbang dari penerimaan cukai hasil tembakau (CHT).

Secara nominal, dia menegaskan, penerimaan CHT memiliki tren peningkatan, namun di dua tahun terakhir (2023 dan 2024) target penerimaan cukai dibawah target yang ditetapkan.

“Fakta ini diduga bahwa tarif cukai sudah melewati batas maksimum, melampui tingkat affordability (keterjangkauan) konsumen. Sampai 2024, penerimaan CHT mencapai Rp216,90 triliun, sulit tergantikan bahkan BUMN sepertinya tidak mudah mengejar kontribusi besar IHT dalam penerimaan negara,” ujarnya.

Menurutnya, IHT juga memiliki posisi strategis di dalam penyerapan tenaga Indonesia. Sepanjang rantai pasok IHT mampu menyerap 5,98 juta tenaga kerja (naker), diantaranya naker langsung di pabrik rokok mencapai sekitar 230.000 karyawan.

Sementara itu, di linkage IHT juga terkait dengan para petani tembakau dan cengkeh, terdapat 1,7 juta petani tembakau dan petani cengkeh atau setara dengan 8,5 Juta orang (asumsi 1 petani menanggung 5 orang) yang menggantungkan nafkahnya di sektor ini.

Pusat Tembakau di Indonesia

Untuk diketahui, saat ini usat produksi tembakau sekitar 50% berada di Jawa Timur, kemudian diiikuti oleh Jawa Tengah dan NTB.

Selain itu, pertanian tembakau juga terdapat di Jawa Barat, Aceh, dan Sumatra Utara meskipun produksinya tidak sesignifikan jika dibandingkan dengan Jawa Timur.

Dia menegaskan pula, IHT juga memberikan penerimaan bagi daerah melalui Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT), dimana DBHCHT merupakan dana yang dialokasikan pemerintah pusat kepada daerah penghasil cukai hasil tembakau.

Alokasi DBH CHT telah meningkat dari 2% menjadi 3% mulai 2023.

Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2024 tentang Penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau, DBH CHT digunakan untuk mendanai program peningkatan kualitas bahan baku; pembinaan industri; pembinaan lingkungan sosial; sosialisasi ketentuan di bidang cukai; pemberantasan barang kena cukai ilegal; dan/ atau kegiatan lainnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Pada 2024, DBHCHT ditetapkan sebesar Rp4,9 triliun (PMK 6/2024). Dari jumlah tersebut, total Jawa Timur menerima Rp2,77 triliun atau sekitar 55,6%, kemuduin diikuti Jawa Tengah Rp1,09 Triliun dan Jawa Barat Rp 0,56 triliun.

Jawa Timur mendapatkan DBHCHT tertinggi karena dari Jawa Timur menghasilan sekitar Rp 129,96 Triliun yang bersumber dari sekitar 908 NPPBKC.

Sampai 2024, Provinsi di Indonesia dengan jumlah NPPBKCHT Aktif terbanyak yaitu Provinsi Jawa Timur dengan total 908 NPPBKC atau sejumlah 51,67% dari total NPPBKC Nasional.

Sementara KPPBC dengan jumlah NPPBKCHT Aktif terbanyak yaitu KPPBCTMPC Madura dengan total 245 NPPBKC atau sejumlah 13,94% dari total NPPBKC Nasional. Kemudian diikuti dengan Jwa Tengah dengan 348 dan Jawa Barat 208 serta NTB 115 NPPBKCHT.

Meskipun penggunaan DBHCHT sifatnya earmark (sudah ditentukan penggunaannya), kata dia, namun pemerintah daerah dapat mengoptimalkan penggunaan DBHCHT untuk mendorong peningkatan sektor IHT di daerah.

Caranya bisa melalui pelatihan peningkatan kualitas bahan baku; penanganan panen dan pascapanen; penerapan inovasiteknis; dan/atau dukungan sarana dan prasarana usaha pertanian dalam rangka mendukung peningkatan kualitas bahan baku.

Dalam hal pembinaan, pemerintah daerah dapat melakukan pembinaan SDM, updating data pelaku IHT, pengembngan sentra IHT, infrastruktur pendukung konektivitas, maupun pengembangan fasilitas pengujian kadar tar dan nikotin serta uji bahan baku tembakau.

Dengan DBHCHT pemerintah daerah juga dapat mengupayakan peningkatan kesehateraan Masyarakat, khususnya buruh tani tembakau; buruh pabrik rokok termasuk yang terkena pemutusan hubungan kerja; dan atau anggota masyarakat lainnya termasuk petani cengkeh dan buruh tani cengkeh.

Selain itu, pemerintah daerah dapat menglokasikan DBHCHT untuk bantuan langsung tunai; bantuan pembayaran iuran jaminan perlindungan produksi tembakau bagi petani tembakau; dan atau pembayaran iuran jaminan perlindungan sosial ketenagakerjaan.

Menurut Joko, program ini juga dapat diperkuat dengan pelatihan keterampilan kerja; bantuan modal usaha berupa barang; bantuan bibit, benih, pupuk dan atau sarana dan prasarana produksi kepada petani tembakau dalam rangka diversifikasi tanaman; dan atau bantuan bibit, benih, pupuk dan atau sarana dan prasarana pertanian kepada anggota masyarakat lainnya termasuk petani cengkeh dan buruh tani cengkeh.

Hal yang tak kalah penting, menurut dia, yakni sosialisasi kebijakan cukai dan pemberantasan rokok illegal.

Program ini merupakan bentuk afirmatif kebijakan pemda dalam upaya melindungi pelaku IHT legal yang patuh terhadap ketentuan perpajakn dan berkontribusi besar pada penerimaan negara dan penyerapan tenaga kerja di daerah.

Dalam upaya pemberantasan rokok ilegal ini, program yang dapat dilakukan diantaranya pengumpulan informasi peredaran barang kena cukai illegal; operasi bersama pemberantasan barang kena cukai ilegal dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang dikoordinasikan oleh Pemerintah Daerah.

Kemudian perlu juga dilakukan penyediaan sarana pendukung pemberantasan barang kena cukai ilegal; peningkatan kapasitas pelaksana kegiatan kegiatan pemberantasan barang kena cukai ilegal; dan atau penyimpanan sementara barang hasil operasi bersama pemberantasan barang kena cukai illegal.

Selain itu, kata dia, dalam upaya pemberantasan rokok illegal, pemerintah daerah juga harus menggandeng APH dan berbagai elemen masyarakat seperti organisasi keagamaan, tokoh masyarakat, maupun tokoh agama untuk pendekatan persuasive, sehingga rokok illegal dapat diberantas diakarnya, yaitu penindakan produsen rokok illegal.

Selain DBHCHT, pemda juga memperoleh pajak rokok yang merupakan komponen dari PAD, sehingga pajak rokok ini lebih leluasa digunakan untuk pembiayaan program-program pembangunan daerah.

Berdasarkan estimasi sebagaimana tertuang dalam keputusan dirjen perimbangan keuangan 49/PK/2024, terdapat 4 daerah dengan pajak rokok terbesar, yakni Jawa Barat diproyeksi mendapatkan pajak rokok sebesar Rp4.1 triliun, Jawa Timur Rp3,3 Triliun, Mateng Rp3.1 triliun, dan Provinsi Daerah Khusus Jakarta sebesar Rp. 906,1 miliar.

Dia menegaskan, keberadaan IHT saat ini sangat penting didalam menajga penerimaan negara dn penyerapan tenaga kerja. Oleh karena itu, perlindungan dan afirmatif kebijakan IHT harus diberikan agar keberlangsungan IHT dapat berlangsung secara adil ditengah desakan berbagai kepentingan.

Dalam hal ini, Pemerintah perlu melakukan “Rembug Bersama” dengan semua pemangku kepentingan secara berkesinambungan dalam rangka menentukan roadmap kebijakan IHT ke depan.

Di samping itu, dalam upaya optimalisasi penerimaan negara dari cukai hasil tembakau, maka pemerintah harus meningkatkan pencegahan, pengawasan, dan penindakan untuk memerangi peredaran rokok ilegal secara massif dan berkelanjutan.

“Satu hal lagi, sudah saatnya pemerintah melakukan ektensifikasi cukai dengan diversifikasi Barang Kena Cukai (BKC) sebagai alternative BKC diluar komoditi hasil tembakau dan alkohol,” kata Joko yang juga Peneliti Senior Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi FEB UB itu.

Saat ini, katanya, justru perhatian dari pemerintah terhadap IHT dan pertanian tembakau justru tidak ada, setidaknya kecil. Bahkan yang dilakukan justru kebijakan restriktif karena menilai komoditas IHT merupakan produk yang harus dibatasi dan diawasi.

Dampaknya, kata Joko, jumlah IHT terus merosot. Sampai saat ini terjadi penurunan yang cukup drastis pelaku usaha di industri hasil tembakau, dimana pada 2007 terdapat sekitar 4.700 pabrikan dan sampai 2024 tinggal sekitar 1.700bu pabrikan rokok.

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Malang, Prof Nazaruddin Malik, menegaskan tren menurunnya jumlah kelas menengah di Indonesia dipicu menurunnya jumlah industri padat karya karena tengah sunset.

Karena itulah, dia menegaskan, untuk menciptakan kelas menengah baru, maka pemerintah tidak boleh abai terhadap industri yang tengah sunset namun padat seperti industri alas kaki, tekstil, bahkan IHT.

Kurang Perhatian Pemerintah

Ketua Gabungan Perusahaan Rokok Malang (Gaperoma), Johnya, membenarkan sinyalemen Joko.

Meski IHT berperan besar bagi pembangunan daerah lewat setoran pajak, pajak daerah, cukai, DBHCHT, dan penyerapan tenaga kerja, namun karena regulasi yang tidak kondusif, maka jumlah IHT di Malang Raya terus menurun.

Saat ini, IHT anggota Gaperoma tinggal sekitar 11 perusahaan.

Kepala Bappeda Kab. Malang, Tomie Herawanto, menilai IHT memberikan dampak perekonomian daerah maupun masyarakat, baik pada sisi budidaya (menghasilkan produk dasar yaitu tembakau) dan olahan dasar sehingga petani mendapat nilai tambah usaha sektor pertanian.

Sementara untuk industri rokok akan didapat perkembangan ekonomi masyarakat pekerja pabrik rokok sehingga daerah dapat pendapatan dari cukainya. Potensi dan kontribusinya Kabupaten pada IHT sangat besar, sehingga DBHCHT mestinya juga mengikuti.

“IHT masih mungkin dikembangkan di Kab. Malang dengan tetap tidak menganggu lahan partanian untuk pangan. Begitu pula pendirian industrinya tidak di Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B),” ucapnya. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Choirul Anam
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper