Bisnis.com, MALANG—Perwakilan Bank Indonesia (BI) Jatim mewaspadai adanya banjir di Ngawi dan Madiun yang dapat menekan inflasi Jawa Timur pada Maret 2019.
Kepala Perwakilan BI Jatim Difi A. Johansyah mengatakan banjir di Ngawi dan Madiun yang merupakan sentra produksi padi di Jatim masih belum diketahui dampaknya pada tanaman pangan utama tersebut.
“Kami masih belum mengetahui dampak banjir pada tanaman padi di sana,” katanya di sela-sela Kuliah Umum Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo di FE dan Bisnis Universitas Brawijaya Malang, Selasa (12/3/2019).
Masih belum diketahui pula apakah tanaman padi di Ngawi dan Madiun yang terkena banjir justru belum memasuki musim tanam. Jika hal itu terjadi, maka yang terjadi hanya penundaan musim tanam.
Namun, dia optimistis, jika pun banjir di Ngawi dan Madiun menekan inflasi terutama dari komoditas beras, dampaknya tidak terlalu besar. Hal itu terjadi karena sentra-sentra produksi padi di luar daerah tersebut jumlahnya banyak.
Di sentra-sentra produksi padi di Jatim, seperti Bojonegoro, tidak terkena banjir sehingga produksi padi diperkirakan masih aman.
Di sisi lain, pada Maret pasokan beras di pasar jumlahnya banyak. Hal itu terjadi karena bulan ini di beberapa daerah tersebut justru memasuki panen raya.
Yang juga dapat menekan kenaikan harga beras, menurut dia, cadangan beras pemerintah juga jumlahnya banyak sehingga jika ada tren kenaikan harga beras maka bisa diatasi lewat operasi pasar yang digelar Bulog.
“Tapi saya tetap optimistis harga beras tetap stabil di Maret meski ada banjir,” katanya.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Prof Chandra Fajri Ananda mengatakan jika produksi padi di Ngawi dan Madiun terganggu maka hampir dipastikan akan dapat menaikkan inflasi di Maret, jika tidak ada langkah antisipatif.
Karena itulah, kata dia, menyikapi banjir di Ngawi dan Madiun yang merupakan sentra produksi padi maka perlu pendataan yang benar terkait dengan masalah tanaman padi.
Jika permasalahan tersebut dapat dipetakan dengan benar, maka langkah-langkah penanganan bisa benar sehingga dampak dari banjir terkait dengan kenaikan inflasi bisa dicegah.
Kepala Perwakilan BI Malang Azka Subhan Aminurridho mengatakan dari sisi inflasi, ada 2 kota di wilayah kerja BI Malang yang dihitung IHK-nya oleh BPS, yakni Kota Malang dan Kota Probolinggo.
Sepanjang tahun 2018 inflasi Kota Malang tercatat 2,98% (yoy) dan Kota Probolinggo mengalami inflasi 2,18% (yoy), lebih rendah dari realisasi inflasi nasional yang mencapai 3,13% (yoy).
Sementara pada n Februari 2019 Kota Malang dan Kota Probolinggo tercatat mengalami deflasi masing-masing sebesar -0,42% (mtm) dan -0,14% (mtm) berbeda dengan bulan sebelumnya yang mengalami inflasi sebesar 0,53% (mtm) dan 0,12% (mtm).
Deflasi Kota Malang dan Kota Probolinggo pada Februari 2019 ini tercatat lebih rendah dibandingkan dengan tren selama 5 tahun terakhir. Berdasarkan perkembangan tersebut, inflasi Kota Malang secara tahunan mencapai 2,21% (yoy), menurun dari inflasi IHK bulan sebelumnya sebesar 2,81% (yoy). Sementara itu Inflasi tahunan Kota Probolinggo sebesar 1,55 % (yoy), menurun dari inflasi IHK bulan sebelumnya sebesar 2,00% (yoy).
“Realisasi inflasi yang rendah dan terkendali tersebut tidak lepas dari peran pemerintah daerah dan sinergi berbagai pihak yang bernaung dalam forum TPID. Tanpa sinergi, kami rasa sulit untuk melakukan pengendalian inflasi secara optimal,” katanya.