Bisnis.com, SURABAYA — Ekonomi Jatim 2025 diproyeksikan tetap tumbuh, yakni di kisaran 4,7%-5,5%, mirip dengan capaian pertumbuhan ekonomi 2024 yang di kisaran angka tersebut.
Koordinator Tim Kerja Kebijakan dan Sarana Perekonomian Provinsi Jatim, Mochamad Devis Susandika, mengatakan perekonomian Jatim diperkirakan tetap bertumbuh yang ditopang tiga sektor utama, yakni industri pengolahan, perdagangan, dan pertanian.
“Sampai pada Agustus 2024, lapangan industri pengolahan memberikan share PDRB sebesar 30,54%, namun penyerapan tenaga kerja hanya 15,17% dan pertumbuhan tahunan 5,92%,” katanya dalam Bisnis Indonesia Economic Outlook 2025 di Surabaya, Selasa (10/12/2024).
Sebaliknya, sektor pertanian menyerap tenaga kerja 31,46%, namun share terhadap PDRB hanya 11,94% dengan pertumbuhan tahunan 1,62%, dan lapangan usaha perdagangan share PDRB 18,67% menyerap tenaga kerja 18,64% dengan pertumbuhan 4,40% secara tahunan.
Adapun yang menggembirakan, kata dia, sektor industri pengolahan sebagian besar, 79% merupakan industri yang mengolah hasil pertanian sehingga memperkuat linkage dengan potensi ekonomi di Jatim yang sumbangan sektor ini juga besar.
Problem pada sektor pertanian, kata dia, bagaimana pengembangan skala menjadi agropolitan-korporasi petani sehingga mempunyai nilai tambah yang tinggi. Dukungan terhadap konsep program agropolitan-korporasi petani, salah satunya fasilitasi pembiayaan PT. Kliring Perdagangan Berjangka Indonesia (BUMN) dengan alokasi Rp1,2 triliun untuk skema resi gudang dan saat ini sudah dapat digunakan Rp10 miliar.
Baca Juga
Korporasi petani dalam implementasi juga berupa pembiayaan unit saprodi menyasar petani/gapoktan dengan produk gabah kering panen yang selanjutnya dibeli oleh unit pembelian dan diolah menjadi beras dengan residu biogas, pelet sekam padi, dan PLTBm.
Korporasi pemasaran, dengan merek kolektif Jatim Cetar, melibatkan PT. Perusahaan Perdagangan Indonesia (BUMN), PT. Jatim Grha Utama BUMD Jatim bekerja sama dengan BUMD kab/kota, BUMDes se Jawa Timur.
Di sektor perdagangan, kata dia, dengan keberadaan Ibu Kota Nusantara (IKN) maka posisi Jatim sebagai gerbang nasional ke Indonesia Timur semakin kuat.
Menurutnya, untuk meningkatan kinerja perekonomian Jawa Timur, maka dilakukan penguatan ekonomi domestik yang solid dengan mengandalkan kinerja lapangan usaha andalan/utama yang menjadi potensi lokal daerah baik dari sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, maupun sektor pertanian.
Selanjutnya, menjaga iklim usaha/ investasi yang kondusif dalam mendukung permintaan eksternal/ekspor dan menguatkan permintaan domestik. Mendukung keberlanjutan pembangunan proyek strategis (PSN, Perpres 80/2019, swasta), dan menjaga capaian inflasi yang stabil dalam rangka inklusifitas ekonomi serta dalam menjaga daya beli masyarakat konsumen dan menjaga kesejahteraan produsen.
“Terkait dengan pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 7%-8%, Pemprov Jatim tentu saja mendukung. Kuncinya, kinerja industri pengolahan digenjot dengan mendatangkan investor baru,” ujarnya.
Koordinator Tim Kerja Kebijakan dan Sarana Perekonomian Provinsi Jatim, Mochamad Devis Susandika dalam Bisnis Indonesia Economic Outlook 2025./Bisnis-Andik Susanto.
Sinergi Berbagai Pihak
Sementara kalangan dunia usaha menilai, untuk mendukung ekonomi Jatim tumbuh berkelanjutan, harus ada konsistensi pemerintah menerapkan kebijakan yang pro dunia usaha. Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo Jawa Timur, Budianto Budi, menegaskan untuk mendukung program-program pro-rakyat seperti Makan Siang Bergizi Gratis dan PSN, maka pertumbuhan ekonomi sebesar 7%-8% menjadi syarat mutlak.
“Yang juga perlu diperhatikan soal pengupahan buruh. PP 51 tahun 2023 itu sudah ideal, sudah dapat memberikan kepastian hukum bagi pengusaha. Dengan adanya kepastian, maka pengusaha dapat merencanakan dan mengembangkan usaha bisa lebih mudah,” ucapnya.
Ekonom Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya, Joko Budi Santoso, menilai salah satu persoalan mendasar yang dihadapi Prov. Jatim sampai saat ini adalah ketimpangan pendapatan dan ketimpangan wilayah. Ketimpangan pendapatan yang direpresentasikan dengan gini ratio 2024 sebesar 0,372, mengalami penurunan dari tahun sebelumnya yang sebesar 0,387. Semakin kecil nilai indek gini, maka mengindikasikan semakin merata tingkat pendapatan.
Jika dilihat lebih dalam, kata dia, gini ratio perkotaan (0,387) lebih tinggi dibanding perdesaan (0,325). Hal ini mengindikasikan bahwa daerah-daerah yang bertumpu pada sektor industri dan jasa cenderung mememiliki gini ratio lebih tinggi dibandingkan daerah-daerah dengan basis sektor pertanian.
Selain itu, ketimpangan wilayah juga terjadi, yaitu ketimpangan wilayah utara dan Selatan. Secara lebih spesifik, wilayah Gerbang Kertosusilo plus menguasai hampir 70% ekonomi Jatim.
Partisipan Bisnis Indonesia Economic Outlook 2025 berfoto bersama selepas diskusi di Surabaya, Selasa (10/12/2024)./Bisnis-Andik Susanto.
Menurutnya, ketimpangan wilayah disebabkan perbedaan sumberdaya, aksesibilitas dan konektivitas, dan basis perekonomian yang bertumpu pada industri dan jasa (wilayah utara) dengan pertanian (wilayah selatan).
Untuk mengatasi ketimpangan tersebut, maka beberapa strategi yang perlu percepatan adalah penyelesaian jalur lintas selatan (JLS), jalan tol menuju Blitar dan Kediri. Infrastruktur tersebut akan meningkatkan aksesibilitas dan konektivitas sehingga wilayah selatan terakselerasi untuk mengejar ketertinggalan.
Potensi ekonomi pertanian akan dipacu dengan berkembangnya agro industri. Disamping itu, potensi pariwisata berbasis alam di wilayah selatan akan men-trigger sektor-sektor ekonomi lainnya seperti UMKM, transportasi, dan agroindustri.
Infrastruktur yang berkualitas, kata dia, juga akan menjadi daya tarik investor yang ditopang dengan fasilitas perizinan yang semakin mudah, pasti, dan cepat. Hal ini tentunya akan berdampak semakin efisiennya investasi yang dicerminkan dari nilai ICOR. Saat ini ICOR Jatim sebesar 5,6. Jika merujuk pada negara maju, idealnya ICOR di bawah 3.
Selanjutnya, untuk mengatasi ketimpangan pendapatan dan wilayah, jika parameternya gini ratio maka capaiannya relatif stagnan. Hal ini harus diikuti dengan kebijakan standardisasi layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan di setiap wilayah kualitasnya sama dan merata serta berkeadilan.
Jika standar layanan dasar di setiap wilayah sama, maka esensi ketimpangan dapat dieliminasi. Hal ini juga perlu diperkuat dengan pengukuran happiness index (indeks kebahagiaan) yang menggambarkan tingkat kepuasan masyarakat terhadap kehidupan sehari-hari.
"Dengan kata lain, indeks kebahagiaan mengukur kesejahteraan suatu masyarakat berdasarkan tingkat kebahagiaan yang dimilikinya. Bahagia tidak harus sama pendapatan antara masyarakat Surabaya dengan Pacitan,” ucapnya.(K24)