Kerap Ingkar, Pemerintah Diminta Audit Keberadaan dan Permintaan Starlink

Penghentian penerimaan pelanggan baru Starlink di Indonesia hingga saat ini masih terus diberlakukan
Foto: Kerap Ingkar, Pemerintah Diminta Audit Keberadaan dan Permintaan Starlink
Foto: Kerap Ingkar, Pemerintah Diminta Audit Keberadaan dan Permintaan Starlink

Bisnis.com, JAKARTA - Penghentian penerimaan pelanggan baru Starlink di Indonesia hingga saat ini masih terus diberlakukan. Alasan penghentian yang disampaikan oleh pihak Starlink, yakni kapasitas telah habis terjual, dinilai Agung Harsoyo dari Sekolah Teknik Elektro dan Informatika ITB sebagai alasan yang tidak masuk akal. Menurutnya, setiap pelaku usaha telekomunikasi yang hendak melakukan kegiatan usaha telah memiliki rencana bisnis yang sangat matang, termasuk antisipasi terhadap peningkatan kebutuhan layanan telekomunikasi di suatu wilayah.

Lebih lanjut, Agung menyampaikan bahwa langkah Starlink saat ini hanyalah strategi akal-akalan untuk mendapatkan tambahan alokasi frekuensi. Mereka ingin menekan pemerintah, dalam hal ini Presiden Prabowo melalui Komdigi, agar diberikan tambahan frekuensi. Dengan dalih kapasitas yang sudah tidak mencukupi, Starlink berharap bisa memperoleh frekuensi tambahan, padahal frekuensi yang mereka inginkan belum diatur oleh ITU.

“Karena belum diatur oleh ITU, Starlink berusaha menggiring agar diberikan kepada mereka terlebih dahulu. Ini mirip dengan fintech yang ingin berusaha melalui regulasi sandboxing. Intinya, Starlink ingin menguasai frekuensi yang belum diatur ITU itu untuk kebutuhan bisnis mereka di Indonesia. Menurut saya, Pemerintahan Presiden Prabowo harus hati-hati terhadap akal-akalan Starlink ini,” ucap Agung.

Karena berkaitan dengan sumber daya terbatas seperti frekuensi, kegiatan usaha Starlink di Indonesia berpotensi mengancam kedaulatan NKRI. Menurut Agung, Pemerintah Presiden Prabowo dan Komdigi jangan sampai terjebak janji manis Starlink. Sebab, janji pemilik Starlink saat ingin masuk Indonesia tidak ada satu pun yang ditepati.

Prinsip dasar regulasi telekomunikasi dibuat untuk mewujudkan keadilan bagi seluruh pelaku usaha. Tentunya sebagai penyelenggara telekomunikasi, mereka harus memiliki komitmen pembangunan dan investasi yang akan ditanamkan di Indonesia, seperti membangun jaringan telekomunikasi di daerah 3T untuk melayani fasilitas pelayanan publik. Selain itu, Elon Musk juga pernah berjanji akan membangun pabrik Tesla di Indonesia. Namun, hingga saat ini rencana tersebut tidak terwujud.

“Pemerintah harus bisa menegakkan aturan dan menagih janji Starlink dan Elon Musk. Sampai saat ini saya belum melihat komitmen pembangunan Starlink. Janji untuk tidak menjual layanan di daerah yang sudah memiliki layanan seluler dan fiber optik juga tidak mereka penuhi. Ini sama saja Starlink tidak mendukung program pemerintah dalam memberikan layanan telekomunikasi di Indonesia, khususnya di daerah blankspot. Saat ini, tidak ada urgensinya pemerintah mengakomodasi kepentingan Starlink,” kata anggota BRTI periode 2015–2018 itu.

Sebelum menyediakan layanan ritel di Indonesia, Starlink hanya diberikan izin menjadi backhaul untuk menghubungkan BTS di daerah 3T. Karena adanya dinamika, Starlink mendapatkan izin menjual layanan telekomunikasi ritel. Berdasarkan rekomendasi KPPU, dalam melakukan bisnisnya, Starlink wajib bekerja sama dengan pelaku telekomunikasi dan UMKM, serta hanya boleh beroperasi di daerah 3T yang belum mendapatkan layanan telekomunikasi. Namun, semua regulasi dan perintah regulator tersebut tidak dipatuhi oleh Starlink.

Selain tidak memenuhi komitmen pembangunan, Agung meminta Pemerintahan Presiden Prabowo untuk mengantisipasi kegiatan usaha Starlink yang sudah mengarah ke ranah politik dan abai terhadap regulasi di suatu negara. Salah satu contohnya adalah Starlink yang tidak taat aturan saat terjadi konflik geopolitik di Ukraina dan Iran.

Agar kejadian di Ukraina dan Iran tidak terjadi di Indonesia, Agung meminta Komdigi membuat aturan yang tegas terhadap kehadiran layanan satelit orbit rendah ini. Semua pelaku usaha satelit rendah yang masuk ke Indonesia harus tunduk pada regulasi yang berlaku. Jika tidak, pengamat regulasi digital dari ITB ini meminta agar Komdigi segera menghentikan kegiatan usaha mereka di Indonesia.

“Sebagai negara berdaulat, seluruh pelaku usaha telekomunikasi asing wajib tunduk dan taat kepada regulasi di Indonesia. Jika tidak taat, hentikan saja kegiatan usaha mereka. Dengan makin banyaknya pelaku usaha telekomunikasi satelit orbit rendah yang akan masuk ke Indonesia, pemerintah tidak perlu takut terhadap ancaman Starlink. Masih banyak perusahaan yang mau tunduk pada regulasi yang berlaku di Indonesia,” pungkas Agung.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Media Digital
Editor : Media Digital
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

# Hot Topic

Rekomendasi Kami

Foto