Bisnis.com, MALANG — Penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di wilayah kerja KPPN Malang, yakni Kota Malang, Kabupaten Malang, Kota Batu, Kabupaten Pasuruan, dan Kota Pasuruan mencapai Rp35,9 triliun pada posisi April 2025.
Kepala KPPN Malang, Muhammad Rusna, mengatakan realisasi penerimaan APBN sebesar Rp35,9 triliun mengalami penurunan sebesar 28,09% dibandingkan periode yang sama tahun lalu year-on-year (yoy).
Capaian pendapatan ditopang oleh penerimaan perpajakan yang terdiri dari pajak penghasilan sebesar Rp2,4 triliun, mengalami kontraksi sebesar 59,47% (yoy). Pajak Pertambahan Nilai mencapai Rp2,8 triliun atau turun sebesar 78,90% (yoy).
"Penerimaan cukai menyumbang Rp30,3 triliun, naik sebesar 0,36% (yoy)," ucap Muhammad Rusna, Senin (19/5/2025).
Menurutnya, PNBP lainnya telah terealisasi sebesar Rp145,3 miliar atau 76,72% dari target ditetapkan dan mengalami penurunan sebesar 0,31% bila dibandingkan tahun sebelumnya.
Kinerja positif, kata dia, juga ditorehkan pada sisi belanja dengan mencatatkan realisasi mencapai Rp4,8 triliun atau sekitar 33,32% dari total pagu anggaran sebesar Rp14,5 triliun turun sebesar 4,10% (yoy) yang ditopang oleh kinerja belanja Transfer Ke Daerah (TKD) yang mampu meng-counter Belanja Pemerintah Pusat yang mengalami penurunan sebesar 17,55% (yoy).
Baca Juga
Kinerja Belanja K/L ditopang oleh realisasi Belanja Modal sebesar 4,07%, Belanja Barang 19,22% dan Belanja Pegawai sebesar 35,77%. Belanja Transfer Ke Daerah (TKD) telah tersalur Rp3,1 triliun (36,46%).
Ekonom Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya, Joko Budi Santoso, menilai penerimaan pendapatan negara di wilayah KPPN Malang mengalami perlambatan menjadi indikasi bahwa perkomomian domestik sedikit melambat.
Hal ini dibuktikan dengan ekonomi Indonesia triwulan I-2025 terhadap triwulan IV-2024 terkontraksi sebesar 0,98 persen quarter to quarter (q-to-q).
Selain itu, dari sisi pengeluaran, komponen Pengeluaran Konsumsi Pemerintah (PK-P) mengalami kontraksi pertumbuhan terdalam sebesar 39,89 persen. Hal ini imbas dari kebijakan efisiensi yang dilakukan pada awal 2025.
"Kondisi ini diperparah pula oleh lambatnya penyerapan belanja daerah oleh pemda meski TKD sudah ditransfer oleh pemerintah pusat. Fakta ini berimbas pada penerimaan perpajakan karena turut dikontribusikan oleh melambatnya belanja daerah," kata Joko yang juga Peneliti Senior Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi FEB UB itu.